Kamis, 14 Oktober 2010

Tiga Jenis SPT Masa PPN Mulai Tahun 2011

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), dan diatur juga dalam SE-98/PJ/2010 maka mulai 1 Januari 2011 atau mulai SPT Masa PPN untuk Masa Januari 2011 akan dikenai 3 (tiga) jenis SPT Masa PPN, yaitu :
1. SPT Masa PPN 1111
2. SPT Masa PPN 1111 DM
3. SPT Masa PPN 1107 PUT

Peruntukan masing-masing SPT Masa PPN tersebut adalah :
SPT Masa PPN 1111, yang digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal). Petuntuk pengisian SPT Masa PPN 1111 dan bentuk formulirnya dapat dilihat di lampiran PER-44/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

SPT Masa PPN 1111 DM, yang digunakan oleh PKP yang
menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan; Petuntuk pengisian SPT Masa PPN 1111 DM dan bentuk formulirnya dapat dilihat di lampiran PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Bagi PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.

Sedangkan SPT Masa PPN 1107 PUT, yang digunakan oleh Pemungut
PPN.

Jika kurang jelas silahkan hubungi Account Representative (AR - KPP), Konsultan Pajak, atau KRING PAJAK 500200.

Selamat menikmati peraturan baru di tahun 2011.
Vaudy Starworld, Konsultan Pajak di Jakarta.

Formulir SPT Masa PPN Form 1111 - Mulai 1 Januari 2011

Tanggal 6 Oktober 2010 terbit Peraturan Dirjen Pajak No. PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

Dengan terbitnya peraturan tersebut maka mulai tanggal 1 Januari 2011, setiap PKP WAJIB menggunakan formulir SPT Masa PPN yang baru, yaitu formulir SPT Masa PPN 1111.

Isi dari Formulir SPT Masa PPN - Form 1111 ini sebagai berikut :
1. Induk SPT Masa PPN 1111- Formulir 1111 F.1.2.32.04);
2. Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);
3. Formulir 1111 A1 – Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
4. Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
5. Formulir 1111 B1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
6. Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
7. Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12).

by vaudy Starworld - Konsultan Pajak di Jakarta

Sabtu, 10 Juli 2010

pemajakan internasional tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian antar negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk pemajakan. Oleh karena itu, perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangna yang jelas.

persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda antar dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salam satu atau kedua negra pihak pada persetujuan.

P3B Indonesia-Singapura dapat didownload disini dan analisisnya dapat didownload disini

Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark

Berdasarkan SURAT EDARAN Direktur Jenderal Pajak No. SE - 60/PJ/2010 tentang Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark dan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak sesuai amanat Undang-Undang No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 dan menindaklanjuti Rapat Pimpinan Nasional Direktorat Jenderal Pajak bulan Januari 2010, maka ditegaskan bahwa Program Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak sebagaimana telah dilaksanakan sejak tahun 2007 akan dilanjutkan untuk tahun 2010.

Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak merupakan bagian dari
Skema Penggalian Potensi Pajak yang bertujuan antara lain untuk :
• mendapatkan data lengkap dari masing-masing Wajib Pajak secara individu,
• penyempurnaan data Wajib Pajak yang sudah di-update dan benar,
• perbaikan database Direktorat Jenderal Pajak,
• pertukaran data internal Direktorat Jenderal Pajak,
• pemantapan fondasi penggalian potensi pajak,
• penghitungan potensi dan tax gap masing-masing Wajib Pajak dengan menerapkan
• benchmark,
• sebagai alat untuk mengukur kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa dalam rangka Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dan sebagai tindak lanjut dari Rapat Pimpinan Nasional Januari 2010 maka akan dilakukan beberapa hal, yaitu
1. Wajib Pajak yang sudah masuk ke dalam daftar penyelesaian profile 200 Wajib Pajak kemudian menjadi 500 Wajib Pajak dan direncanakan tahun 2010 menjadi 1000 Wajib Pajak harus tetap dipelihara dan diperbaharui (update) sepanjang Wajib Pajak tersebut masih terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Apabila ada Wajib Pajak potensial yang belum masuk ke kelompok tersebut agar ditambahkan. Penyelesaian Profile Wajib Pajak ini merupakan bagian dari pembenahan data seluruh Wajib Pajak secara bertahap. Pada akhirnya diharapkan seluruh Wajib Pajak telah ada Profile-nya secara lengkap.
2. Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dilakukan terhadap 1000 WP untuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan seluruh Wajib Pajak bagi Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya.
3. Yang dimaksud 1000 Wajib Pajak yang harus dibuat Profile-nya oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah Wajib Pajak yang sudah dibuat Profile-nya pada tahun-tahun sebelumnya ditambah dengan Wajib Pajak potensial lainnya hingga mencapai 1000.
4. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak pada tahun 2010 terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah menyelesaikan penyempurnaan Profile Wajib Pajak; menyempurnakan data masing-masing Wajib Pajak di Profile Wajib Pajak tersebut; melakukan pengujian data permanen untuk menentukan kewajaran omzet/output dari kegiatan usaha Wajib Pajak; menghitung potensi masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; menghitung pajak yang sudah direalisasikan masing-masing WP tahun 2007 s.d. 2009; menghitung tax gap masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; mengklasifikasikan daftar Wajib Pajak; menentukan prioritas penggalian potensi dari 1000 Wajib Pajak berdasarkan tax gap dan sektor dominan; serta membuat rencana kegiatan bulanan untuk pembenahan dan penggalian potensi berbasis Profile dari Wajib Pajak yang telah dibuat Profile-nya;
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengawasi kelengkapan Profile Wajib Pajak serta analisa dan tindak lanjutnya.
6. Metode penghitungan yang digunakan dalam program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak adalah : 1) potensi dihitung dari basis penentu omset/output dari kegiatan usaha dikalikan benchmark (prakiraan rasio) yaitu terdiri dari: a) potensi Pajak Penghasilan, b) potensi Pajak Pertambahan Nilai, c) potensi PPh Pemotongan/Pemungutan; 2) pajak yang sudah direalisasikan, terdiri dari:
a) pajak yang dibayar sendiri, b) pajak yang dipotong/dipungut pihak ketiga; dan 3) tax gap dihitung dari selisih nomor 1) dengan nomor 2).
7. Kepala Kanwil DJP melakukan kompilasi laporan bulanan dari seluruh KPP di lingkungannya dan mengirimkan laporan dimaksud dengan format kepada Direktur Jenderal Pajak Up. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan kegiatan. Selain laporan dengan hardcopy, juga agar dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam format Microsoft Excel melalui email ke : dampak.pkp@pajak.go.id.

Surat Edaran ini berlaku saat ditetapkan yaitu ditetapkan di Jakarta pada tanggal 05 Mei 2010 dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo.

Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark



Berdasarkan SURAT EDARAN Direktur Jenderal Pajak No. SE - 60/PJ/2010 tentang Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark dan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak sesuai amanat Undang-Undang No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 dan menindaklanjuti Rapat Pimpinan Nasional Direktorat Jenderal Pajak bulan Januari 2010, maka ditegaskan bahwa Program Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak sebagaimana telah dilaksanakan sejak tahun 2007 akan dilanjutkan untuk tahun 2010.

Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak merupakan bagian dari
Skema Penggalian Potensi Pajak yang bertujuan antara lain untuk :
• mendapatkan data lengkap dari masing-masing Wajib Pajak secara individu,
• penyempurnaan data Wajib Pajak yang sudah di-update dan benar,
• perbaikan database Direktorat Jenderal Pajak,
• pertukaran data internal Direktorat Jenderal Pajak,
• pemantapan fondasi penggalian potensi pajak,
• penghitungan potensi dan tax gap masing-masing Wajib Pajak dengan menerapkan
• benchmark,
• sebagai alat untuk mengukur kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa dalam rangka Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dan sebagai tindak lanjut dari Rapat Pimpinan Nasional Januari 2010 maka akan dilakukan beberapa hal, yaitu
1. Wajib Pajak yang sudah masuk ke dalam daftar penyelesaian profile 200 Wajib Pajak kemudian menjadi 500 Wajib Pajak dan direncanakan tahun 2010 menjadi 1000 Wajib Pajak harus tetap dipelihara dan diperbaharui (update) sepanjang Wajib Pajak tersebut masih terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Apabila ada Wajib Pajak potensial yang belum masuk ke kelompok tersebut agar ditambahkan. Penyelesaian Profile Wajib Pajak ini merupakan bagian dari pembenahan data seluruh Wajib Pajak secara bertahap. Pada akhirnya diharapkan seluruh Wajib Pajak telah ada Profile-nya secara lengkap.
2. Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dilakukan terhadap 1000 WP untuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan seluruh Wajib Pajak bagi Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya.
3. Yang dimaksud 1000 Wajib Pajak yang harus dibuat Profile-nya oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah Wajib Pajak yang sudah dibuat Profile-nya pada tahun-tahun sebelumnya ditambah dengan Wajib Pajak potensial lainnya hingga mencapai 1000.
4. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak pada tahun 2010 terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah menyelesaikan penyempurnaan Profile Wajib Pajak; menyempurnakan data masing-masing Wajib Pajak di Profile Wajib Pajak tersebut; melakukan pengujian data permanen untuk menentukan kewajaran omzet/output dari kegiatan usaha Wajib Pajak; menghitung potensi masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; menghitung pajak yang sudah direalisasikan masing-masing WP tahun 2007 s.d. 2009; menghitung tax gap masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; mengklasifikasikan daftar Wajib Pajak; menentukan prioritas penggalian potensi dari 1000 Wajib Pajak berdasarkan tax gap dan sektor dominan; serta membuat rencana kegiatan bulanan untuk pembenahan dan penggalian potensi berbasis Profile dari Wajib Pajak yang telah dibuat Profile-nya;
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengawasi kelengkapan Profile Wajib Pajak serta analisa dan tindak lanjutnya.
6. Metode penghitungan yang digunakan dalam program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak adalah : 1) potensi dihitung dari basis penentu omset/output dari kegiatan usaha dikalikan benchmark (prakiraan rasio) yaitu terdiri dari: a) potensi Pajak Penghasilan, b) potensi Pajak Pertambahan Nilai, c) potensi PPh Pemotongan/Pemungutan; 2) pajak yang sudah direalisasikan, terdiri dari:
a) pajak yang dibayar sendiri, b) pajak yang dipotong/dipungut pihak ketiga; dan 3) tax gap dihitung dari selisih nomor 1) dengan nomor 2).
7. Kepala Kanwil DJP melakukan kompilasi laporan bulanan dari seluruh KPP di lingkungannya dan mengirimkan laporan dimaksud dengan format kepada Direktur Jenderal Pajak Up. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan kegiatan. Selain laporan dengan hardcopy, juga agar dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam format Microsoft Excel melalui email ke : dampak.pkp@pajak.go.id.

Surat Edaran ini berlaku saat ditetapkan yaitu ditetapkan di Jakarta pada tanggal 05 Mei 2010 dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo.

Dampak PErubahan UU PPN terhadap SPT Masa PPN 1107

Dengan berlakunya perubahan UU PPN pada tanggal 01 April 2010 maka berdampak pula pada SPT PPN 1107 hal ini disebabkan penamaan Faktur Pajak tidak lagi mengenal istilah Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.

Namun dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak dengan No. SE - 59/PJ/2010 tentang Penggunaan Aplikasi E-SPT PPN 1107 Sehubungan dengan berlakunya UU No. 42 Thn2009 menjelaskan bahwa penggunaan SPT PPN 1107 baik secara manual dan elektronik belum berpengaruh.

Mengacu juga pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) serta memperhatikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-6/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik, maka SE-59/PJ/2010 ditegaskan sebagai berikut :

Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 yang sudah ada sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang direncanakan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.

Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing, pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggunggung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya pada Lampiran 1107 A Bagian III "Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana".

Bagi Pengusaha Kena Pajak Toko Ritel yang ditunjuk melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107, wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada Lampiran PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 secara manual. Daftar Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang bersangkutan. Bagi Pengusaha Kena Pajak lainnya yang melakukan penyerahan kepada pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli tidak diisi) tidak wajib melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT PPN 1107 tetapi cukup mengadministrasikan rincian yang dimaksud.

Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II "Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak" tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile bagian Penomoran Faktur diubah menjadi Input Manual.

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, dan menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma, agar terlebih dahulu mengunduh aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 yang dapat diperoleh pada portaldjp atau www.pajak.go.id. Penyesuaian dilakukan atas formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Peraturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2010, dengan demikian pelaporan SPT PPN Masa April 2010 yang dilaporkan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Mei 2010 tetap menggunakan Formulir 1107.

FP setelah PER 13/PJ/2010

Dengan terbitnya SE Dirjen Pajak No. SE-56/PJ/2010 tanggal Tanggal 27 April 2010 tentang PENJELASAN MENGENAI PENGGUNAAN FAKTUR PAJAK LAMA, menjelaskan beberapa hal yang penting :

Faktur Pajak Lama masih dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak sampai habis dan tetap dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan baik secara formal maupun material.

Atas Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dapat dikreditkan oleh Pembeli sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Nomor Urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak melanjutkan Nomor Urut yang telah digunakan Pengusaha Kena Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010.

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak dibuat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan Pengusaha Kena Pajak, tidak harus sama dengan contoh pada Lampiran IA dan Lampiran IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010.

Invoice yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Surat Edaran ini ditandatangi oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo pada tanggal 27 April 2010 di Jakarta. Dengan demikian memberikan penjelasan bahwa Faktur Pajak Standar yang masih tersisa cetakannya di perusahaan dapat digunakan sampai habis.

TAX REFUND

8 Toko Layani Fasilitas Tax Refund Untuk Turis Asing
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bekerjasama dengan delapan toko di Jakarta dan Bali dalam rangka faslitas tax refund atau fasilitas vat refund for tourist yaitu pemberian restitusi pajak penjualan (PPn) kepada turis asing yang berlanja di Tanah Air. Ketentuan ini berlaku mulai 1 April 2010 sejalan berlakunya UU No.42 tahun 2009 mengenai PPN dan PPn BM.

"Hal ini juga dilakukan oleh beberapa negara untuk menarik turis asing," kata Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo dalam acara konferensi pers di kantornya, Kamis (1/4/2010).

Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan menambahkan untuk sementara Ditjen Pajak masih bekerjasama hanya dengan 8 toko di Jakarta dan Bali. Selanjutnya sejalan dengan sistem yang makin kuat, pihaknya akan membuka kesempatan kepada seluruh toko-toko di Tanah Air untuk bisa melayani faslitas ini.

"Ini masih dicoba dalam tahap awal 8 toko, ini yang sukarela, kalau sudah safe sistemnya maka kita akan buka seluas-luasnya, " tegas Robert.

Beberapa lokasi toko, yang membuka fasilitas vat refund, di Jakarta:
Pasaraya Blok M Jakarta, Sarinah Thamrin Jakarta, Metro Pondoh Indah Mal Jakarta, Metro Plaza Senayan Jakarta, Keris Gallery Terminal 2D, Bandara Soekarno-Hatta.

Lokasi di Bali:
Batik Keris Discovery Shopping Mal Bali, UC Silver Batubulan Gianyar Bali, Mayang Bali Kuta Square Blok A No.12 Bali.

Untuk mendapatkan vat refund for tourist, antara lain:

* Barang yang dibeli harus ditoko-toko yang memasang logo vat refund for tourist, si pembeli harus menunjukan paspor.
* Barang yang dibeli harus barang yang kena pajak
* Barang-barang makanan, minuman dan produk tembakau, senjata api, bahan peledak dan barang-barang yang dilarang dibawa ke pesawat tidak mendapat fasilitas tax refund.
* Berlaku bagi pembelian barang dalam satu struk dengan harga minimal Rp 5 juta, atau jumlah restitusinya mencapai Rp 500.000.
* Pembelian barang dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sebelum keberangkatan
* Barang yang dibeli harus dibawa ke luar negeri dengan cara dibawa langsung oleh turis, bukan melalui kargo atau jasa pengiriman dan diberikan kepada vat refund.

Cara pengembalian vat refund dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tunai dengan mata uang rupiah jika nilai pajak yang dimintakan pengembaliannya (restitusinya) tidak melebihi Rp 5 juta. Kedua adalah cara transfer jika nilai pajak yang dimintakan pengembaliannya diatas Rp 5 juta, dengan catatan transfer paling lama satu bulan sejak klaim disampaikan.

Klaim vat refund bisa dilakukan pada tanggal keberangkatan ke luar negeri sesaat sebelum meninggalkan Indonesia. Lokasinya untuk tahap awal, klaim dapat dilakukan di konter vat refund Ditjen Pajak di Bandara Soekarno Hatta Jakarta dan konter Ditjen Pajak di Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali.
(hen/dnl)

FP per 1 April 2010

Dengan diterbitkannya :
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Tata Cara Penggantian Faktur Pajak.
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Dan
• Surat Edaran Nomor SE-42/PJ/2010 tentang Penyampaian PMK No. 38/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian Faktur Pajak Dan Per Dirjen Pajak No. Per-13/PJ/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

Yang mulai berlaku pada tanggal 01 APRIL 2010, menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang mendasar pada FAKTUR PAJAK. Perubahan tersebut antara lain :

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
2. Faktur Pajak harus dibuat pada :
- saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
- saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
- saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
- saat PKP menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
3. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
4. Bentuk dan ukuran Formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan sendiri oleh PKP.
5. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan sesuai dengan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap dan benar dan/atau tidak ditandatangani merupakan Faktur Pajak cacat.
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak antara lain :
• PKP hanya mengisi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan Kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak akan mengakibatkan Faktur Pajak tersebut menjadi cacat;
• Kode Cabang hanya digunakan oleh PKP yang telah mendapat ijin Pemusatan PPN terutang namun sistem penerbitan Faktur Pajak-nya belum on line;
• Peruntukan Kode Cabang tidak boleh diubah. Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya tidak boleh digunakan kembali;
• Nomor Urut dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status dan mata uang yang digunakan serta Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap (eks Faktur Pajak Sederhana);
7. Kewajiban PKP untuk menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait dengan pengisian Faktur Pajak yaitu :
• Surat pemberitahuan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak yang dilengkapi dengan contoh spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk termasuk bila ada perubahan/penggantian pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak.
• Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan atau penghentian penggunaan Kode Cabang;
• Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan (Faktur Pajak yang diterbitkan telah mencapai nomor urut 99999999).
8. Batas waktu penyampaian surat pemberitahuan secara tertulis oleh PKP kepada Kepala KPP :
• Surat pemberitahuan nama dan spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah pejabat atau kuasa yang ditunjuk mulai menandatangani Faktur Pajak;
• Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan Kode Cabang paling lama akhir bulan berikutnya setelah Kode Cabang mulai digunakan;
• Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Nomor Urut 00000001 yang kedua digunakan.
9. PKP yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada butir 8 atau menyampaikan pemberitahuan tetapi melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir 9 maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan surat pemberitahuan diterima dianggap Faktur Pajak cacat.
10. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak cacat tidak dapat dikreditkan dan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak cacat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU KUP.
11. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, khusus untuk PKP Pedagang Eceran (PKP PE) diberikan kemudahan untuk menggunakan kode dan nomor seri khusus sebagai pengganti Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak. Kode dan nomor seri khusus tersebut ditentukan sendiri oleh PKP PE dapat berupa nomor invoice atau nomor struk penjualan, sebagaimana yang saat ini telah dipergunakan.

by : Vaudy S

Yang Baru Dengan PPN Kegiatan Membangun Sendiri


Mulai tanggal 1 April 2010 secara efektif berlaku Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan demikian maka banyak hal-hal yang baru yang berhubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Salah satu yang baru adalah Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) namun secara legal formal pasal yang mengatur tentang KMS adalah Pasal 16C yaitu Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, tidak mengalami perubahan.

Jika sebelum 1 April 2010, KMS diatur dalam KMK No. 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002.

Mulai 1 April 2010 aturan diatas tidak berlaku lagi dan diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.

Satu hal yang ditegaskan dalam PMK No. 39/PMK.03/2010 adalah Kegiatan Membangun Sendiri Terutang Pajak Pertambahan Nilai. Artinya bahwa setiap kegiatan membangun yang dilakukan oleh Wajib Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Tarif PPN atas KMS pada dasarnya sama dengan jika kita mengenakan PPN atas penjualan barang dagangan yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Namun yang berbeda pada KMS ini adalah pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) itu sendiri. Jika pada penjualan biasa, DPP adalah sama dengan jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor. Maka DPP atas KMS yang digunakan adalah NILAI LAIN yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang

Nilai Lain tersebut sudah ditentukan dalam PMK No. 39/PMK.03/2010 yaitu sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Atas transaksi pembelian bahan material maka pihak penjual akan memberikan faktur pajak, namun sangat disayangkan bahwa Pajak Masukan pada faktur pajak tersebut yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.

Masa peralihan pada ketentuan ini juga perlu diperhatikan karena sebelum tanggal 1 April 2010 batasan KMS yang terutang PPN adalah paling sedikit 200 m2 sedangkan setelah tanggal tersebut naik menjadi 300m2.

KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI (KMS) : PENGISIAN SURAT SETORAN PAJAK DAN PELAPORAN

Oleh : Vaudy Starworld


PENGANTAR :
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) merupakan kegiatan membangun BANGUNAN yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Yang dimaksud dengan BANGUNAN adalah berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan.

Suatu BANGUNAN akan terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan KRITERIA :
a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

SAAT TERUTANG DAN TARIF
Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas KMS terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan tersebut dan tempat PPN terutang atas KMS adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Khusus untuk KMS yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 40% (empat puluh persen) atau tarif efektifnya sebesar 4% dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya, dan wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

LOKASI BANGUNAN SATU MAUPUN BERBEDA KPP
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2010 tanggal 2 Juni 2010 tentang Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak, Pelaporan, Dan Pengawasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri, mengatur bahwa dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut.

Ketentuan tersebut juga mengatur dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan :
a. angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b. angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c. angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
e. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

Dalam hal orang pribadi atau badan usaha yang melakukan KMS belum memiliki NPWP, kolom NPWP pada SSP diisi dengan :
a. angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b. angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c. angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
e. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.


PELAPORAN KMS
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan SSP KMS ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

OP atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan KMS wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

Seandainya orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan KMS selain wajib melaporkan penyetoran, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

TIDAK MELAPORKAN KMS
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan KMS tidak melakukan kewajibannya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat mengeluarkan surat teguran. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan pemeriksaan pajak untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS. Dalam hal orang pribadi atau badan belum memilki Nomor Pokok Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal orang pribadi atau badan yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai cabang sesuai ketentuan yang berlaku


BANGUNAN YANG DIGUNAKAN ORANG LAIN
Dalam hal bangunan sebagai hasil KMS digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyerahkan bukti SSP asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut. Jika tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, maka pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Pihak lain yang bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran PPN yang wajib menyetor Pajak Pertambahan Nilai terutang dan melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan.

Jumat, 05 Maret 2010

Tata Cara Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Kabar Peraturan baru dari Direktorat jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-06/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pegurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan atau Surat Tauhan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan , yang tidak benar.

Untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKBKB, SKBKBT, atau STB, permohonan tersebut dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa sanksi administrasi dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak
  3. fotokopi surat pemberitahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat dipertimbangkan, dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB atau SKBKBT
  4. dokumen pendukung lainnya
untuk pengajuan permohonan pengurangan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB yang tidak benar dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dikumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut tidak benar
  3. fotokopi surat pemebritahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat dipertimbangkan dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN
  4. dokumen pendukung lainnya
untuk pengajuan permohonan pengajuan pembatalan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dokumen pedukung yang dapat menunjjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut tidak benar
  3. dokumen pendukung lainnya
pengajuan ini dapat disampaikan langsung atau melallui Pos denga bukti pengiriman. Bukti pengiriman dari Pos ini merupakan bukti penerimaan surat permohonan wajib pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan keputusan berupa megabulkan sebagian atau seluruhnya atau menolak permohonan tersebut dan akan diputuskan maksimal 6 bulan sejak bukti penerimaan surat permohonan wajib pajak.

secara lengkap mengenai PER-06/PJ/2010 beserta formulirny dapat dilihat disini

Menunggak Pajak Mempengaruhi Hak Rakyat Untuk Sejahtera

Rilis tunggakan pajak per 31/12/2009 menunjukkan angka sekitar Rp 52 triliun. Dari jumlah tersebut, kontribusi 100 perusahaan (wajib pajak, WP) pangsanya mencapai 33,7% atau sebesar Rp 17,5 triliun. Jumlah ini telah menghentakkan perhatian berbagai pihak. Tidak terkecuali anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia (KONTAN, 29/1/2010).

Mengapa masih ada tunggakan pajak oleh perusahaan besar? Padahal, anggapan selama ini, perusahaan besar umumnya telah mengelola usahanya dengan baik, termasuk dalam menunaikan kewajiban pajak. Hal ini terutama berkait dej ngan good corporate governance (GCG). Apalagi oleh perusahaan yang sudah go public dan asing, adanya utang pajak akan dapat mempengaruhi kredibilitas mereka di mata investor dan pasar.

Prinsip pajak terutang

Penetapan adanya pajak terutang atas WP (termasuk perusahaan) sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD 1945, yang menjamin dasar pengenaan dan penghitungan pajak terutang, semuanya harus dengan UU. Penerapannya terlihat, baik itu atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maupun Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pada prinsipnya, pajak terutang ada pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Misalnya, terjadi jual beli mobil, sewa menyewa alat berat, menerima penghasilan dari pekerjaan, menerima bunga atas pinjaman. Dari jenisnya, pajak terutang ada yang harus dibayar pada masa pajak (umumnya bulanan), tapi ada pula tahunan. Berapa jumlahnya, terangkum dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan ke Ditjen Pajak.

Dengan sistem self assessment, wajib pajak membayar pajak sendiri terutangnya. Dia tidak perlu menunggu adanya surat ketetapan pajak. Namun, jika wajib pajak tidak membayar pajak yang menjadi kewajibannya (misalnya, PPh Pasal 25), atau dalam pengisian SPT terdapat ketidakbenaran, atau karena adanya data fiskal yang tidak dilaporkan dalam SPT, ini akan berakibat masih ada kekurangan pajak yang terutang. Atas amanat UU Perpajakan, Ditjen Pajak lantas menerbitkan surat ketetapan pajak.

Bila setelah lewat jatuh tempo, wajib pajak tetap tidak membayar pajak yang terutang, statusnya beralih menjadi tunggakan pajak. Dengan kedudukan pajak sebagai salah satu kewajiban kepada negara, utang pajak berarti WP mempunyai utang kepada negara. Inilah yang membedakan utang pajak dengan utang yang ada di dunia bisnis.

Berdasarkan amanat UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), melalui Ditjen Pajak, negara akan melakukan tindakan penagihan atas tunggakan pajak.

Upaya penagihan dapat dilakukan dengan satu atau beberapa tindakan, sesuai dengan status lamanya tunggakan pajak. Dimulai dari surat teguran atau surat peringatan, penagihan seketika, dan sekaligus, Surat Paksa (SP), penyitaan atas harta milik wajib pajak, pemblokiran rekening bank, lelang, maupun pencekalan ke luar negeri, balikan penyanderaan atau gijzeling.

Sesuai dengan UU KUP, bila yang mempunyai utang pajak adalah wajib pajak badan (perusahaan), para pengurusnya lah yang bertanggungjawab. Yakni, orang yang nyata- nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ataupun mengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan perusahaan.

Pada dasarnya, setiap orang ingin sejahtera dalam hidupnya Di negara demokrasi dan berdaulat, rakyat mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Apabila rakyat belum sejahtera, tugas negara lah untuk menyediakan berbagai barang dan jasa publik yang dibutuhkan rakyat.

Mengurangi hak rakyat

Di negara kita, hal ini diamanatkan dalam UUD 1945. Beberapa hak rakyat seperti pertama, hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan meningkatkan kualitas hidupnya (pasal 28C). Kedua, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan (pasal 28D ayat (2)). Ketiga, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, serta pelayanan kesehatan (pasal 28H ayat (1)).

Untuk menyediakan semua kebutuhan dasar untuk kesejahteraan rakyat itu, negara membutuhkan anggaran yang besar. Setiap tahun, programnya dituangkan dalam APBN, yang dialokasikan ke masing-masing instansi pemerintah dan lembaga negara. Dari struktur anggarannya dalam APBN, kontribusi pajak untuk menyejahterakan rakyat adalah yang terbesar, yakni mencapai 68,3%. Lalu, apa dampak adanya tunggakan pajak Rp 52 tribun tersebut?

Duit sebesar itu sebenarnya dapat digunakan pertama, untuk menanggung biaya pendidikan untuk tingkat SMA sekitar 14,39 juta siswa. Bahkan, untuk tingkat SMP sekitar 18,76 juta siswa, dan tingkat SD sekitar 27,89 juta siswa

Kedua, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat akibat dari sanitasi buruk, dapat dimanfaatkan oleh sekitar 196 juta orang, dari biaya yang diperkirakan Rp 63.000 per orang setahun. Ketiga, dapat untuk memperbaiki jalan sepanjang 6.933 km. Bahkan, bila digunakan untuk memperluas jalan dari 2 lajur menjadi 4 lajur, atau melebarkan jalan dari 6 m menjadi 7 m, akan berguna untuk memperluas 8.667 km jalan.

Keempat, uang itu dapat menghidupi sekitar 16 juta keluarga miskin.Bila hal-hal di atas dapat berjalan, niscaya upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terus berjalan. Tapi, dengan belum lunasnya tunggakan pajak Rp 52 triliun itu, hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik menjadi berkurang, atau balikan terhenti.

Sumber : Harian Kontan
Liberti Pandiangan,
Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan Dirjen Pajak

Sabtu, 27 Februari 2010

Benda Meterai : BKP atau BUKAN?

Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Barang Kena Pajak adalah Barang yang dikenakan Pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya.

kenapa saya membahasa--lebih tepatnya mungkin menulis--ini?
Hal ini berkaitan dengan pertanyaan yang diberikan oleh teman saya kemarin. Benda Meterai itu BKP atau BUKAN? kalo BUKAN apa dasar hukumnya?

saya juga berpikir-pikir nih, karena dosen saya sendiri katanya juga belum bisa menjawabnya karena belum tahu dasar hukum yang menyatakan Benda Meterai itu BKP atau bukan karena kan SEMUA BARANG itu adalah BKP kecuali ;
- Barang kebutuha pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak
- emas, surat berharga, dan uang
- barang tambang atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari alam
- makanan dan minuman yang disajikan di restoran, warung, dan yang sejenisnya karena sudah dikenakan pajak daerah.

lha Benda meterai gak disebutin disitu kan?

tapi memang selama ini benda meterai tidak ada PPN nya deh kayaknya.

ini menurut pendapat saya, jawaban saya sendiri yang masih belum berdasar hukum yang kuat. tapi inilah jawaban saya:

1. Menurut saya Bea Meterai memang bukan merupakan Barang Kena Pajak karena Bea Meterai itu sendiri hanya merupakan bukti dari pelunasan pembayaran pajak atas dokumen. jadi ya Bea Meterai itu sendiri adalah Pajaknya. toh benda meterai juga kan tidak digunakan secara nyata untuk dijual gto.

2. bea meterai kan bagian dari dikumen2 atau surat berharga tuh, dnegan begitu kan secara otomatis (tidak langsung juga) bukan merupakan BKP sebagaimana UU PPN 1984.

mungkin itu jawaban sementaranya. masih dikonsutasikan dengan para ahli pajak yang lainnya.

Fasilitas PPN Terutang Dibebaskan dan Tidak Dipungut

Dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdapat 2 fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, yakni PPN terutang dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut.

Apa perbedaannya?

Fasilitas PPN terutang dibebaskan yakni PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dibebaskan pemungutannya. Artinya, Konsumen tidak perlu membayar PPN yang terutang itu lagi dan bagi Penjualnya (PKP) tidak perlu memungut PPN terutangnya.

Fasilitas PPN terutang tidak dipungut hakikatnya juga sama, yakni PPN yang terutang dalam penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak perlu dipungut oleh penjual karena ada fasilitas tersebut. Dalam hal ini konsumen juga tidak lagi perlu membayar PPN yang terutang tersebut.

lalu apa perbedaannya?

Perbedaan secara Yuridis kedua fasilitas ini adalahi dari segi Pajak Masukannya.

untuk fasilitas PPN terutang dibebaskan, Pajak yang telah dibayarkan atas perolehan bahan untuk membuat BKP yang dijual (atau Pajak Masukannya) tidak bisa dikreditkan oleh si PKP penjual BKP tersebut.
sedangkan untuk fasilitas PPN terutang tidak dipungut, Pajak yang telah dibayar (Pajak Masukan untuk perolehan BKP yang dijual tersebut dapat dikreditkan.

so, perbedaan apa lagi dari kedua fasilitas tersebut, apa pengaruhnya untuk harga barang yang dijual??

beikut ini perbedaan secara MATEMATIS

PPN terutang dibebaskan
contoh :
Pak Ahmad adalah seorang penjual suatu Barang Kena Pajak, misalkan buku. anggap saja atas satu buku tersebut, Pak Ahmad memerlukan biaya sebesar Rp 50.000,- dari harga tersebut, Pak Ahmad mengharapkan laba 20% HPP. misalkan atas perolehan bahan2 tersebut Pak Ahmad telah membayar Pajak Masukannya sebesar Rp 5000,-

karena pajak masukan atas fasilitas PPN ini tidak bisa dikreditkan, maka biasanya Penjual atau pengusaha akan memasukkanya sebagai biaya dan menjadi bagian dari harga poko penjualan.

sehingga, perhitungannya adalah sebagai berikut.

biaya : Rp 50.000, PM : Rp 5000

harga poko penjualan :Rp 55.000
laba diharapkan (20%): Rp 11.000
PPN terutang : Rp 6600 (dibebaskan

harga yang dibayar oleh konsumen Rp 66.000

PPN terutang tidak dipungut
untuk fasilitas PPN terutang tidak dipungut, karena PM bisa dikreditkan, Pak Ahmad atau pengusaha biasanya tidak akan memasukkannya sebagai biaya ke harga poko penjualan karena juga tidak rugi jika tidak dimasukkan.

sehingga perhitungannya sebagai berikut.

harga pokok penjualan : Rp 50.000,-
laba (20%) : Rp 10.000
PPN terutang : RP 6.000 (tidak dipungut)

harga yang akan dibayar oleh konsumen : Rp 60.000

Dengan begitu, harga barang yang diberikan fasilitas PPN terutang tidak dipungut lebih murah jika dibanding dengan fasilitas PPN terutang dibebaskan.

Kamis, 25 Februari 2010

Transfer Pricing

korporasi multinasional telah berkembang dari beberapa dekade yang lalu. Mereka terus berkembang sampai saat ini dan mungkin sudah mencapai ratusan korporasi multinasional yang sudah ada di negeri ini.
kehadiran korporasi multinasional ini membawa banyak sekali perubahan dalam kehidupan di masyarakat, khususnya rakyat Indonesia. Dampak tersebut dapat merupakan dampak yang positif dan negatif.

dampak positif misalnya dengan adanya korporasi ini, maka investasi di suatu negara akan berkembang sehingga negara ini akan lebih maju lagi dalam perekonomian dan berbaga aspek lainnya.
dampak negatifnya juga sangat banyak, diantaranya lingkungan di negeri kita ini menjadi semakin tidak karuan , tanah dikeruk untuk kantor, tambang, dll. sungguh ironis.

korporasi multinasional ini merupakan perusahaan yang berskala internasional. mereka berada dalam satu grup dan terdiri atas berbagai perusahaan yang tersebar di berbagai negara.

perusahaan2 yang ada di berbagai negara ini merupakan divisi2 yang ada dalam grup perusahaan multinasional tersebut.

Kasus Jasa Penyewaan Tower ==>>bagaimana perlakuan PPh nya?

beberapa waktu lalu saya mendapatkan sebuah soal mengenai jasa penyewaan "tower".
kasusnya seperti ini :
ada sebuah perusahaan persewaan tower, sebut aja PT XYZ. kemudian ada perusahaan lain, sebut aja PT ABC, menyewa tower tersebut.

PT ABC menyewa tower kepada PT XYZ untuk kepentingan telekomunikasi mereka.

dari soal inilah timbul sebuah diskusi yang cukup lah, dan sampai sekarang saya masih belum tahu persis dan yakin seyakin-yakinnya mengenai PPh yang harus dikenakan atas jasa penyewaan tower ini oleh PT XYZ kepada PT ABC.

jawaban pertama diskusi ini adalah :

PT XYZ dikenakan PPh pasal 4 ayat (2) secara final sebesar 10% dari harga sewa.
alasannya, jasa tower ini dianggap sebagai jasa penyewaan tanah dan atau bangunan. tower dikategorikan sebagai bangunan sesuai dengan pengertian bangunan di UU PBB, yakni konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di tanah dan atau perairan.

alasan yang masuk akal untuk sebuah soal seperti itu. sangat masuk akal.

namun,saya berpikir kenapa jasa penyewaan tower ini tidak dikenakan PPh 23 aja --tidak final-- dan akhirnya dapat dikreditkan nantinya.

saya kemudian membuka KEP-227/PJ./2002 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN.
dalam pasal 2 kita dapat mengetahui seperti ini :
"Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah
kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;"

kalo dilihat di KEP-227 ini pasal (2) khususnya, bukankah jenis bangunan yang disebutkan disana sudah jelas dan sepertinya sangat terbatas yang dikenai PPh final atau PPh pasal 4(2).

disana juga tidak ada opsi bangunan lainnya. sehingga dengan begitu yang dikenakan PPh 4(2) hanya yang disebutkan di atas.

inilah yang menjadi pertimbangan saya waktu itu.

menurut pendapat saya, jasa persewaan tower untuk kepentingan telekomunikasi ini seharusnya dimasukkan dalam PPh 23 dengan tarif 2% dan tidak final.

jasa ini saya rasa bisa dikategorikan dalam jasa lain sebagaimana di PMK 244/2008 dalam "jasa penyedia tempat dan atau waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi"

saya sempat berdiskusi dengan beberapa orang, dosen saya waktu tk.1 dan seorang fiskus di DJP Sukabumi serta sebuah group TAX di FACEBOOK.

intinya, pengenaan PPh terhadap jasa penyewaan tower ini (kalo ada kasusnya) mungkkin dapat dilihat substansi kasusnya terlebih dahulu, baru kita dapat menyimpulkan aspek perpajakan apa yang akan dikenakan terhadap jasa seperti ini Untuk jasa tower seperti contoh di atas bisa dimasukkan dalam pasal 4(2), pengenaannya final 10%.

jawabannya mungkin saya masih belum puas secara keseluruhan karena msih juga terdpaat perbedaan pendapat dalam hal ini.

maklum lah, masih di bangku sekolah tinggi. mungkin saat praktek nanti akan ditemui jawaban riil atas masalah ini.

sekian pembahasan mengenai jasa tower tersebut.