Jumat, 05 Maret 2010

Tata Cara Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Kabar Peraturan baru dari Direktorat jenderal Pajak. Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak nomor PER-06/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permohonan Pegurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan atau Surat Tauhan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan , yang tidak benar.

Untuk mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam SKBKB, SKBKBT, atau STB, permohonan tersebut dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dokumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa sanksi administrasi dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahan wajib pajak
  3. fotokopi surat pemberitahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat dipertimbangkan, dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB atau SKBKBT
  4. dokumen pendukung lainnya
untuk pengajuan permohonan pengurangan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB yang tidak benar dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dikumen pendukung yang dapat menunjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut tidak benar
  3. fotokopi surat pemebritahuan pengajuan keberatan BPHTB tidak dapat dipertimbangkan dalam hal wajib pajak pernah mengajukan keberatan atas SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN
  4. dokumen pendukung lainnya
untuk pengajuan permohonan pengajuan pembatalan SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB dilampiri dengan :
  1. fotokopi identitas wajib pajak dan fotokopi identitas kuasa wajib pajak dalam hal dikuasakan
  2. dokumen pedukung yang dapat menunjjukkan bahwa SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN, atau STB tersebut tidak benar
  3. dokumen pendukung lainnya
pengajuan ini dapat disampaikan langsung atau melallui Pos denga bukti pengiriman. Bukti pengiriman dari Pos ini merupakan bukti penerimaan surat permohonan wajib pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan keputusan berupa megabulkan sebagian atau seluruhnya atau menolak permohonan tersebut dan akan diputuskan maksimal 6 bulan sejak bukti penerimaan surat permohonan wajib pajak.

secara lengkap mengenai PER-06/PJ/2010 beserta formulirny dapat dilihat disini

Menunggak Pajak Mempengaruhi Hak Rakyat Untuk Sejahtera

Rilis tunggakan pajak per 31/12/2009 menunjukkan angka sekitar Rp 52 triliun. Dari jumlah tersebut, kontribusi 100 perusahaan (wajib pajak, WP) pangsanya mencapai 33,7% atau sebesar Rp 17,5 triliun. Jumlah ini telah menghentakkan perhatian berbagai pihak. Tidak terkecuali anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia (KONTAN, 29/1/2010).

Mengapa masih ada tunggakan pajak oleh perusahaan besar? Padahal, anggapan selama ini, perusahaan besar umumnya telah mengelola usahanya dengan baik, termasuk dalam menunaikan kewajiban pajak. Hal ini terutama berkait dej ngan good corporate governance (GCG). Apalagi oleh perusahaan yang sudah go public dan asing, adanya utang pajak akan dapat mempengaruhi kredibilitas mereka di mata investor dan pasar.

Prinsip pajak terutang

Penetapan adanya pajak terutang atas WP (termasuk perusahaan) sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD 1945, yang menjamin dasar pengenaan dan penghitungan pajak terutang, semuanya harus dengan UU. Penerapannya terlihat, baik itu atas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maupun Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pada prinsipnya, pajak terutang ada pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Misalnya, terjadi jual beli mobil, sewa menyewa alat berat, menerima penghasilan dari pekerjaan, menerima bunga atas pinjaman. Dari jenisnya, pajak terutang ada yang harus dibayar pada masa pajak (umumnya bulanan), tapi ada pula tahunan. Berapa jumlahnya, terangkum dalam Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan ke Ditjen Pajak.

Dengan sistem self assessment, wajib pajak membayar pajak sendiri terutangnya. Dia tidak perlu menunggu adanya surat ketetapan pajak. Namun, jika wajib pajak tidak membayar pajak yang menjadi kewajibannya (misalnya, PPh Pasal 25), atau dalam pengisian SPT terdapat ketidakbenaran, atau karena adanya data fiskal yang tidak dilaporkan dalam SPT, ini akan berakibat masih ada kekurangan pajak yang terutang. Atas amanat UU Perpajakan, Ditjen Pajak lantas menerbitkan surat ketetapan pajak.

Bila setelah lewat jatuh tempo, wajib pajak tetap tidak membayar pajak yang terutang, statusnya beralih menjadi tunggakan pajak. Dengan kedudukan pajak sebagai salah satu kewajiban kepada negara, utang pajak berarti WP mempunyai utang kepada negara. Inilah yang membedakan utang pajak dengan utang yang ada di dunia bisnis.

Berdasarkan amanat UU No. 28/2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan UU No. 19/2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), melalui Ditjen Pajak, negara akan melakukan tindakan penagihan atas tunggakan pajak.

Upaya penagihan dapat dilakukan dengan satu atau beberapa tindakan, sesuai dengan status lamanya tunggakan pajak. Dimulai dari surat teguran atau surat peringatan, penagihan seketika, dan sekaligus, Surat Paksa (SP), penyitaan atas harta milik wajib pajak, pemblokiran rekening bank, lelang, maupun pencekalan ke luar negeri, balikan penyanderaan atau gijzeling.

Sesuai dengan UU KUP, bila yang mempunyai utang pajak adalah wajib pajak badan (perusahaan), para pengurusnya lah yang bertanggungjawab. Yakni, orang yang nyata- nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijakan ataupun mengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan perusahaan.

Pada dasarnya, setiap orang ingin sejahtera dalam hidupnya Di negara demokrasi dan berdaulat, rakyat mempunyai hak untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Apabila rakyat belum sejahtera, tugas negara lah untuk menyediakan berbagai barang dan jasa publik yang dibutuhkan rakyat.

Mengurangi hak rakyat

Di negara kita, hal ini diamanatkan dalam UUD 1945. Beberapa hak rakyat seperti pertama, hak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, dan meningkatkan kualitas hidupnya (pasal 28C). Kedua, hak untuk bekerja serta mendapat imbalan (pasal 28D ayat (2)). Ketiga, hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, serta pelayanan kesehatan (pasal 28H ayat (1)).

Untuk menyediakan semua kebutuhan dasar untuk kesejahteraan rakyat itu, negara membutuhkan anggaran yang besar. Setiap tahun, programnya dituangkan dalam APBN, yang dialokasikan ke masing-masing instansi pemerintah dan lembaga negara. Dari struktur anggarannya dalam APBN, kontribusi pajak untuk menyejahterakan rakyat adalah yang terbesar, yakni mencapai 68,3%. Lalu, apa dampak adanya tunggakan pajak Rp 52 tribun tersebut?

Duit sebesar itu sebenarnya dapat digunakan pertama, untuk menanggung biaya pendidikan untuk tingkat SMA sekitar 14,39 juta siswa. Bahkan, untuk tingkat SMP sekitar 18,76 juta siswa, dan tingkat SD sekitar 27,89 juta siswa

Kedua, untuk meningkatkan kesehatan masyarakat akibat dari sanitasi buruk, dapat dimanfaatkan oleh sekitar 196 juta orang, dari biaya yang diperkirakan Rp 63.000 per orang setahun. Ketiga, dapat untuk memperbaiki jalan sepanjang 6.933 km. Bahkan, bila digunakan untuk memperluas jalan dari 2 lajur menjadi 4 lajur, atau melebarkan jalan dari 6 m menjadi 7 m, akan berguna untuk memperluas 8.667 km jalan.

Keempat, uang itu dapat menghidupi sekitar 16 juta keluarga miskin.Bila hal-hal di atas dapat berjalan, niscaya upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dapat terus berjalan. Tapi, dengan belum lunasnya tunggakan pajak Rp 52 triliun itu, hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik menjadi berkurang, atau balikan terhenti.

Sumber : Harian Kontan
Liberti Pandiangan,
Kepala Subdit Kepatuhan WP dan Pemantauan Dirjen Pajak