Sabtu, 10 Juli 2010

pemajakan internasional tidak terlepas dari adanya suatu perjanjian antar negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk pemajakan. Oleh karena itu, perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangna yang jelas.

persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) adalah perjanjian pajak berganda antar dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salam satu atau kedua negra pihak pada persetujuan.

P3B Indonesia-Singapura dapat didownload disini dan analisisnya dapat didownload disini

Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark

Berdasarkan SURAT EDARAN Direktur Jenderal Pajak No. SE - 60/PJ/2010 tentang Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark dan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak sesuai amanat Undang-Undang No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 dan menindaklanjuti Rapat Pimpinan Nasional Direktorat Jenderal Pajak bulan Januari 2010, maka ditegaskan bahwa Program Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak sebagaimana telah dilaksanakan sejak tahun 2007 akan dilanjutkan untuk tahun 2010.

Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak merupakan bagian dari
Skema Penggalian Potensi Pajak yang bertujuan antara lain untuk :
• mendapatkan data lengkap dari masing-masing Wajib Pajak secara individu,
• penyempurnaan data Wajib Pajak yang sudah di-update dan benar,
• perbaikan database Direktorat Jenderal Pajak,
• pertukaran data internal Direktorat Jenderal Pajak,
• pemantapan fondasi penggalian potensi pajak,
• penghitungan potensi dan tax gap masing-masing Wajib Pajak dengan menerapkan
• benchmark,
• sebagai alat untuk mengukur kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa dalam rangka Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dan sebagai tindak lanjut dari Rapat Pimpinan Nasional Januari 2010 maka akan dilakukan beberapa hal, yaitu
1. Wajib Pajak yang sudah masuk ke dalam daftar penyelesaian profile 200 Wajib Pajak kemudian menjadi 500 Wajib Pajak dan direncanakan tahun 2010 menjadi 1000 Wajib Pajak harus tetap dipelihara dan diperbaharui (update) sepanjang Wajib Pajak tersebut masih terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Apabila ada Wajib Pajak potensial yang belum masuk ke kelompok tersebut agar ditambahkan. Penyelesaian Profile Wajib Pajak ini merupakan bagian dari pembenahan data seluruh Wajib Pajak secara bertahap. Pada akhirnya diharapkan seluruh Wajib Pajak telah ada Profile-nya secara lengkap.
2. Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dilakukan terhadap 1000 WP untuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan seluruh Wajib Pajak bagi Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya.
3. Yang dimaksud 1000 Wajib Pajak yang harus dibuat Profile-nya oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah Wajib Pajak yang sudah dibuat Profile-nya pada tahun-tahun sebelumnya ditambah dengan Wajib Pajak potensial lainnya hingga mencapai 1000.
4. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak pada tahun 2010 terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah menyelesaikan penyempurnaan Profile Wajib Pajak; menyempurnakan data masing-masing Wajib Pajak di Profile Wajib Pajak tersebut; melakukan pengujian data permanen untuk menentukan kewajaran omzet/output dari kegiatan usaha Wajib Pajak; menghitung potensi masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; menghitung pajak yang sudah direalisasikan masing-masing WP tahun 2007 s.d. 2009; menghitung tax gap masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; mengklasifikasikan daftar Wajib Pajak; menentukan prioritas penggalian potensi dari 1000 Wajib Pajak berdasarkan tax gap dan sektor dominan; serta membuat rencana kegiatan bulanan untuk pembenahan dan penggalian potensi berbasis Profile dari Wajib Pajak yang telah dibuat Profile-nya;
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengawasi kelengkapan Profile Wajib Pajak serta analisa dan tindak lanjutnya.
6. Metode penghitungan yang digunakan dalam program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak adalah : 1) potensi dihitung dari basis penentu omset/output dari kegiatan usaha dikalikan benchmark (prakiraan rasio) yaitu terdiri dari: a) potensi Pajak Penghasilan, b) potensi Pajak Pertambahan Nilai, c) potensi PPh Pemotongan/Pemungutan; 2) pajak yang sudah direalisasikan, terdiri dari:
a) pajak yang dibayar sendiri, b) pajak yang dipotong/dipungut pihak ketiga; dan 3) tax gap dihitung dari selisih nomor 1) dengan nomor 2).
7. Kepala Kanwil DJP melakukan kompilasi laporan bulanan dari seluruh KPP di lingkungannya dan mengirimkan laporan dimaksud dengan format kepada Direktur Jenderal Pajak Up. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan kegiatan. Selain laporan dengan hardcopy, juga agar dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam format Microsoft Excel melalui email ke : dampak.pkp@pajak.go.id.

Surat Edaran ini berlaku saat ditetapkan yaitu ditetapkan di Jakarta pada tanggal 05 Mei 2010 dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo.

Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark



Berdasarkan SURAT EDARAN Direktur Jenderal Pajak No. SE - 60/PJ/2010 tentang Penggalian Potensi Berbasis Profile WP dan Benchmark dan dalam rangka pengamanan penerimaan pajak sesuai amanat Undang-Undang No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2010 dan menindaklanjuti Rapat Pimpinan Nasional Direktorat Jenderal Pajak bulan Januari 2010, maka ditegaskan bahwa Program Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak sebagaimana telah dilaksanakan sejak tahun 2007 akan dilanjutkan untuk tahun 2010.

Penyempurnaan dan Pemantapan Profile Wajib Pajak merupakan bagian dari
Skema Penggalian Potensi Pajak yang bertujuan antara lain untuk :
• mendapatkan data lengkap dari masing-masing Wajib Pajak secara individu,
• penyempurnaan data Wajib Pajak yang sudah di-update dan benar,
• perbaikan database Direktorat Jenderal Pajak,
• pertukaran data internal Direktorat Jenderal Pajak,
• pemantapan fondasi penggalian potensi pajak,
• penghitungan potensi dan tax gap masing-masing Wajib Pajak dengan menerapkan
• benchmark,
• sebagai alat untuk mengukur kepatuhan Wajib Pajak.

Dalam Surat Edaran tersebut menjelaskan bahwa dalam rangka Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dan sebagai tindak lanjut dari Rapat Pimpinan Nasional Januari 2010 maka akan dilakukan beberapa hal, yaitu
1. Wajib Pajak yang sudah masuk ke dalam daftar penyelesaian profile 200 Wajib Pajak kemudian menjadi 500 Wajib Pajak dan direncanakan tahun 2010 menjadi 1000 Wajib Pajak harus tetap dipelihara dan diperbaharui (update) sepanjang Wajib Pajak tersebut masih terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Apabila ada Wajib Pajak potensial yang belum masuk ke kelompok tersebut agar ditambahkan. Penyelesaian Profile Wajib Pajak ini merupakan bagian dari pembenahan data seluruh Wajib Pajak secara bertahap. Pada akhirnya diharapkan seluruh Wajib Pajak telah ada Profile-nya secara lengkap.
2. Program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak tahun 2010 dilakukan terhadap 1000 WP untuk Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan seluruh Wajib Pajak bagi Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya.
3. Yang dimaksud 1000 Wajib Pajak yang harus dibuat Profile-nya oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama adalah Wajib Pajak yang sudah dibuat Profile-nya pada tahun-tahun sebelumnya ditambah dengan Wajib Pajak potensial lainnya hingga mencapai 1000.
4. Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak pada tahun 2010 terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 1 adalah menyelesaikan penyempurnaan Profile Wajib Pajak; menyempurnakan data masing-masing Wajib Pajak di Profile Wajib Pajak tersebut; melakukan pengujian data permanen untuk menentukan kewajaran omzet/output dari kegiatan usaha Wajib Pajak; menghitung potensi masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; menghitung pajak yang sudah direalisasikan masing-masing WP tahun 2007 s.d. 2009; menghitung tax gap masing-masing Wajib Pajak tahun 2007 s.d. 2009; mengklasifikasikan daftar Wajib Pajak; menentukan prioritas penggalian potensi dari 1000 Wajib Pajak berdasarkan tax gap dan sektor dominan; serta membuat rencana kegiatan bulanan untuk pembenahan dan penggalian potensi berbasis Profile dari Wajib Pajak yang telah dibuat Profile-nya;
5. Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengawasi kelengkapan Profile Wajib Pajak serta analisa dan tindak lanjutnya.
6. Metode penghitungan yang digunakan dalam program Penggalian Potensi berbasis Profile Wajib Pajak adalah : 1) potensi dihitung dari basis penentu omset/output dari kegiatan usaha dikalikan benchmark (prakiraan rasio) yaitu terdiri dari: a) potensi Pajak Penghasilan, b) potensi Pajak Pertambahan Nilai, c) potensi PPh Pemotongan/Pemungutan; 2) pajak yang sudah direalisasikan, terdiri dari:
a) pajak yang dibayar sendiri, b) pajak yang dipotong/dipungut pihak ketiga; dan 3) tax gap dihitung dari selisih nomor 1) dengan nomor 2).
7. Kepala Kanwil DJP melakukan kompilasi laporan bulanan dari seluruh KPP di lingkungannya dan mengirimkan laporan dimaksud dengan format kepada Direktur Jenderal Pajak Up. Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan kegiatan. Selain laporan dengan hardcopy, juga agar dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam format Microsoft Excel melalui email ke : dampak.pkp@pajak.go.id.

Surat Edaran ini berlaku saat ditetapkan yaitu ditetapkan di Jakarta pada tanggal 05 Mei 2010 dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo.

Dampak PErubahan UU PPN terhadap SPT Masa PPN 1107

Dengan berlakunya perubahan UU PPN pada tanggal 01 April 2010 maka berdampak pula pada SPT PPN 1107 hal ini disebabkan penamaan Faktur Pajak tidak lagi mengenal istilah Faktur Pajak Standar dan Faktur Pajak Sederhana.

Namun dengan terbitnya Surat Edaran Dirjen Pajak dengan No. SE - 59/PJ/2010 tentang Penggunaan Aplikasi E-SPT PPN 1107 Sehubungan dengan berlakunya UU No. 42 Thn2009 menjelaskan bahwa penggunaan SPT PPN 1107 baik secara manual dan elektronik belum berpengaruh.

Mengacu juga pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) serta memperhatikan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-6/PJ/2009 tanggal 20 Januari 2009 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik, maka SE-59/PJ/2010 ditegaskan sebagai berikut :

Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT tetap menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 yang sudah ada sampai Formulir SPT Masa PPN yang baru selesai dibuat yang direncanakan digunakan paling lambat 1 Januari 2011.

Untuk Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli tanpa identitas dan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dalam rangka penyerahan BKP kepada turis asing, pelaporan dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 dilakukan dengan cara menggunggung nilai Dasar Pengenaan Pajak dan PPN-nya pada Lampiran 1107 A Bagian III "Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak Sederhana".

Bagi Pengusaha Kena Pajak Toko Ritel yang ditunjuk melakukan penyerahan kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107, wajib melampirkan Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada Lampiran PER-14/PJ/2010 tanggal 26 Maret 2010 secara manual. Daftar Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN Toko Ritel yang bersangkutan. Bagi Pengusaha Kena Pajak lainnya yang melakukan penyerahan kepada pembeli tanpa identitas (Nama dan NPWP pembeli tidak diisi) tidak wajib melampirkan daftar rinciannya pada saat menyampaikan e-SPT PPN 1107 tetapi cukup mengadministrasikan rincian yang dimaksud.

Untuk mengakomodir apabila terjadi Nomor Faktur Pajak yang diinput dalam aplikasi e-SPT PPN 1107 A Bagian II "Penyerahan dalam Negeri Dengan Faktur Pajak" tidak berurutan, maka Wajib Pajak terlebih dahulu mengubah setting aplikasi e-SPT PPN 1107 pada Informasi Profile bagian Penomoran Faktur diubah menjadi Input Manual.

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Kegiatan Usaha Tertentu sebagaimana dimaksud Peraturan Menteri Keuangan Nomor : PMK-79/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010, dan menyampaikan SPT Masa PPN dengan menggunakan aplikasi e-SPT PPN 1107 cara Penghitungan Norma, agar terlebih dahulu mengunduh aplikasi e-SPT PPN 1107 versi 3.1 yang dapat diperoleh pada portaldjp atau www.pajak.go.id. Penyesuaian dilakukan atas formulasi penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Peraturan ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2010, dengan demikian pelaporan SPT PPN Masa April 2010 yang dilaporkan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Mei 2010 tetap menggunakan Formulir 1107.

FP setelah PER 13/PJ/2010

Dengan terbitnya SE Dirjen Pajak No. SE-56/PJ/2010 tanggal Tanggal 27 April 2010 tentang PENJELASAN MENGENAI PENGGUNAAN FAKTUR PAJAK LAMA, menjelaskan beberapa hal yang penting :

Faktur Pajak Lama masih dapat digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak sampai habis dan tetap dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan baik secara formal maupun material.

Atas Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a tetap dapat dikreditkan oleh Pembeli sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Nomor Urut pada Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak melanjutkan Nomor Urut yang telah digunakan Pengusaha Kena Pajak sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010.

Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak dibuat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan Pengusaha Kena Pajak, tidak harus sama dengan contoh pada Lampiran IA dan Lampiran IB Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ./2010.

Invoice yang memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Surat Edaran ini ditandatangi oleh Direktur Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo pada tanggal 27 April 2010 di Jakarta. Dengan demikian memberikan penjelasan bahwa Faktur Pajak Standar yang masih tersisa cetakannya di perusahaan dapat digunakan sampai habis.

TAX REFUND

8 Toko Layani Fasilitas Tax Refund Untuk Turis Asing
Suhendra - detikFinance

Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bekerjasama dengan delapan toko di Jakarta dan Bali dalam rangka faslitas tax refund atau fasilitas vat refund for tourist yaitu pemberian restitusi pajak penjualan (PPn) kepada turis asing yang berlanja di Tanah Air. Ketentuan ini berlaku mulai 1 April 2010 sejalan berlakunya UU No.42 tahun 2009 mengenai PPN dan PPn BM.

"Hal ini juga dilakukan oleh beberapa negara untuk menarik turis asing," kata Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo dalam acara konferensi pers di kantornya, Kamis (1/4/2010).

Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak Robert Pakpahan menambahkan untuk sementara Ditjen Pajak masih bekerjasama hanya dengan 8 toko di Jakarta dan Bali. Selanjutnya sejalan dengan sistem yang makin kuat, pihaknya akan membuka kesempatan kepada seluruh toko-toko di Tanah Air untuk bisa melayani faslitas ini.

"Ini masih dicoba dalam tahap awal 8 toko, ini yang sukarela, kalau sudah safe sistemnya maka kita akan buka seluas-luasnya, " tegas Robert.

Beberapa lokasi toko, yang membuka fasilitas vat refund, di Jakarta:
Pasaraya Blok M Jakarta, Sarinah Thamrin Jakarta, Metro Pondoh Indah Mal Jakarta, Metro Plaza Senayan Jakarta, Keris Gallery Terminal 2D, Bandara Soekarno-Hatta.

Lokasi di Bali:
Batik Keris Discovery Shopping Mal Bali, UC Silver Batubulan Gianyar Bali, Mayang Bali Kuta Square Blok A No.12 Bali.

Untuk mendapatkan vat refund for tourist, antara lain:

* Barang yang dibeli harus ditoko-toko yang memasang logo vat refund for tourist, si pembeli harus menunjukan paspor.
* Barang yang dibeli harus barang yang kena pajak
* Barang-barang makanan, minuman dan produk tembakau, senjata api, bahan peledak dan barang-barang yang dilarang dibawa ke pesawat tidak mendapat fasilitas tax refund.
* Berlaku bagi pembelian barang dalam satu struk dengan harga minimal Rp 5 juta, atau jumlah restitusinya mencapai Rp 500.000.
* Pembelian barang dilakukan dalam jangka waktu satu bulan sebelum keberangkatan
* Barang yang dibeli harus dibawa ke luar negeri dengan cara dibawa langsung oleh turis, bukan melalui kargo atau jasa pengiriman dan diberikan kepada vat refund.

Cara pengembalian vat refund dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tunai dengan mata uang rupiah jika nilai pajak yang dimintakan pengembaliannya (restitusinya) tidak melebihi Rp 5 juta. Kedua adalah cara transfer jika nilai pajak yang dimintakan pengembaliannya diatas Rp 5 juta, dengan catatan transfer paling lama satu bulan sejak klaim disampaikan.

Klaim vat refund bisa dilakukan pada tanggal keberangkatan ke luar negeri sesaat sebelum meninggalkan Indonesia. Lokasinya untuk tahap awal, klaim dapat dilakukan di konter vat refund Ditjen Pajak di Bandara Soekarno Hatta Jakarta dan konter Ditjen Pajak di Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali.
(hen/dnl)

FP per 1 April 2010

Dengan diterbitkannya :
• Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Tata Cara Penggantian Faktur Pajak.
• Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2010 tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Dan
• Surat Edaran Nomor SE-42/PJ/2010 tentang Penyampaian PMK No. 38/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pembuatan Dan Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian Faktur Pajak Dan Per Dirjen Pajak No. Per-13/PJ/2010 Tentang Bentuk, Ukuran, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pengisian Keterangan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

Yang mulai berlaku pada tanggal 01 APRIL 2010, menunjukkan bahwa terjadi perubahan yang mendasar pada FAKTUR PAJAK. Perubahan tersebut antara lain :

1. Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
2. Faktur Pajak harus dibuat pada :
- saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
- saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
- saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
- saat PKP menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
3. Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
4. Bentuk dan ukuran Formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP dan pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan sendiri oleh PKP.
5. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, benar dan sesuai dengan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak. Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap dan benar dan/atau tidak ditandatangani merupakan Faktur Pajak cacat.
6. Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait dengan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak antara lain :
• PKP hanya mengisi Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan Kesalahan dalam pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak akan mengakibatkan Faktur Pajak tersebut menjadi cacat;
• Kode Cabang hanya digunakan oleh PKP yang telah mendapat ijin Pemusatan PPN terutang namun sistem penerbitan Faktur Pajak-nya belum on line;
• Peruntukan Kode Cabang tidak boleh diubah. Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya tidak boleh digunakan kembali;
• Nomor Urut dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status dan mata uang yang digunakan serta Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap (eks Faktur Pajak Sederhana);
7. Kewajiban PKP untuk menyampaikan surat pemberitahuan tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terkait dengan pengisian Faktur Pajak yaitu :
• Surat pemberitahuan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak yang dilengkapi dengan contoh spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk termasuk bila ada perubahan/penggantian pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak.
• Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan atau penghentian penggunaan Kode Cabang;
• Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan (Faktur Pajak yang diterbitkan telah mencapai nomor urut 99999999).
8. Batas waktu penyampaian surat pemberitahuan secara tertulis oleh PKP kepada Kepala KPP :
• Surat pemberitahuan nama dan spesimen tanda tangan pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah pejabat atau kuasa yang ditunjuk mulai menandatangani Faktur Pajak;
• Surat pemberitahuan penggunaan Kode Cabang pada Faktur Pajak termasuk penambahan Kode Cabang paling lama akhir bulan berikutnya setelah Kode Cabang mulai digunakan;
• Surat Pemberitahuan penggunaan Nomor Urut 00000001 yang kedua pada tahun berjalan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Nomor Urut 00000001 yang kedua digunakan.
9. PKP yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada butir 8 atau menyampaikan pemberitahuan tetapi melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada butir 9 maka Faktur Pajak yang diterbitkan sampai dengan surat pemberitahuan diterima dianggap Faktur Pajak cacat.
10. Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak cacat tidak dapat dikreditkan dan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak cacat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU KUP.
11. Sampai dengan tanggal 31 Desember 2010, khusus untuk PKP Pedagang Eceran (PKP PE) diberikan kemudahan untuk menggunakan kode dan nomor seri khusus sebagai pengganti Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak. Kode dan nomor seri khusus tersebut ditentukan sendiri oleh PKP PE dapat berupa nomor invoice atau nomor struk penjualan, sebagaimana yang saat ini telah dipergunakan.

by : Vaudy S

Yang Baru Dengan PPN Kegiatan Membangun Sendiri


Mulai tanggal 1 April 2010 secara efektif berlaku Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan demikian maka banyak hal-hal yang baru yang berhubungan dengan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Salah satu yang baru adalah Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) namun secara legal formal pasal yang mengatur tentang KMS adalah Pasal 16C yaitu Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan, tidak mengalami perubahan.

Jika sebelum 1 April 2010, KMS diatur dalam KMK No. 554/KMK.04/2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri yang Dilakukan Tidak Dalam Kegiatan Usaha atau Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang Hasilnya Digunakan Sendiri atau Digunakan Pihak Lain sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 320/KMK.03/2002.

Mulai 1 April 2010 aturan diatas tidak berlaku lagi dan diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.

Satu hal yang ditegaskan dalam PMK No. 39/PMK.03/2010 adalah Kegiatan Membangun Sendiri Terutang Pajak Pertambahan Nilai. Artinya bahwa setiap kegiatan membangun yang dilakukan oleh Wajib Pajak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Tarif PPN atas KMS pada dasarnya sama dengan jika kita mengenakan PPN atas penjualan barang dagangan yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Namun yang berbeda pada KMS ini adalah pada Dasar Pengenaan Pajak (DPP) itu sendiri. Jika pada penjualan biasa, DPP adalah sama dengan jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor. Maka DPP atas KMS yang digunakan adalah NILAI LAIN yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang

Nilai Lain tersebut sudah ditentukan dalam PMK No. 39/PMK.03/2010 yaitu sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Atas transaksi pembelian bahan material maka pihak penjual akan memberikan faktur pajak, namun sangat disayangkan bahwa Pajak Masukan pada faktur pajak tersebut yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan.

Masa peralihan pada ketentuan ini juga perlu diperhatikan karena sebelum tanggal 1 April 2010 batasan KMS yang terutang PPN adalah paling sedikit 200 m2 sedangkan setelah tanggal tersebut naik menjadi 300m2.

KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI (KMS) : PENGISIAN SURAT SETORAN PAJAK DAN PELAPORAN

Oleh : Vaudy Starworld


PENGANTAR :
Kegiatan Membangun Sendiri (KMS) merupakan kegiatan membangun BANGUNAN yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Yang dimaksud dengan BANGUNAN adalah berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan.

Suatu BANGUNAN akan terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan KRITERIA :
a. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja
b. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
c. luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).

SAAT TERUTANG DAN TARIF
Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas KMS terjadi pada saat mulai dibangunnya bangunan tersebut dan tempat PPN terutang atas KMS adalah di tempat bangunan tersebut didirikan. Khusus untuk KMS yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 40% (empat puluh persen) atau tarif efektifnya sebesar 4% dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya, dan wajib disetor ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

LOKASI BANGUNAN SATU MAUPUN BERBEDA KPP
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2010 tanggal 2 Juni 2010 tentang Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak, Pelaporan, Dan Pengawasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri, mengatur bahwa dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi atau badan tersebut.

Ketentuan tersebut juga mengatur dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom Nomor Pokok Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak diisi dengan :
a. angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b. angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c. angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
e. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.

Dalam hal orang pribadi atau badan usaha yang melakukan KMS belum memiliki NPWP, kolom NPWP pada SSP diisi dengan :
a. angka 01 (nol satu) pada 2 (dua) digit pertama, untuk badan usaha;
b. angka 04 (nol empat) pada 2 (dua) digit pertama, untuk orang pribadi;
c. angka 0 (nol) pada 7 (tujuh) digit berikutnya;
d. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan
e. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir.


PELAPORAN KMS
Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan SSP KMS ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

OP atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan KMS wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

Seandainya orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan KMS selain wajib melaporkan penyetoran, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran, wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan foto kopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.

TIDAK MELAPORKAN KMS
Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan KMS tidak melakukan kewajibannya, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat mengeluarkan surat teguran. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran, orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan pemeriksaan pajak untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas KMS. Dalam hal orang pribadi atau badan belum memilki Nomor Pokok Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal orang pribadi atau badan yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagai cabang sesuai ketentuan yang berlaku


BANGUNAN YANG DIGUNAKAN ORANG LAIN
Dalam hal bangunan sebagai hasil KMS digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus menyerahkan bukti SSP asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut. Jika tidak dapat menunjukkan bukti pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, maka pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. Pihak lain yang bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran PPN yang wajib menyetor Pajak Pertambahan Nilai terutang dan melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan.