Sabtu, 27 Februari 2010

Benda Meterai : BKP atau BUKAN?

Benda Meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Barang Kena Pajak adalah Barang yang dikenakan Pajak berdasarkan UU PPN 1984 dan perubahannya.

kenapa saya membahasa--lebih tepatnya mungkin menulis--ini?
Hal ini berkaitan dengan pertanyaan yang diberikan oleh teman saya kemarin. Benda Meterai itu BKP atau BUKAN? kalo BUKAN apa dasar hukumnya?

saya juga berpikir-pikir nih, karena dosen saya sendiri katanya juga belum bisa menjawabnya karena belum tahu dasar hukum yang menyatakan Benda Meterai itu BKP atau bukan karena kan SEMUA BARANG itu adalah BKP kecuali ;
- Barang kebutuha pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak
- emas, surat berharga, dan uang
- barang tambang atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari alam
- makanan dan minuman yang disajikan di restoran, warung, dan yang sejenisnya karena sudah dikenakan pajak daerah.

lha Benda meterai gak disebutin disitu kan?

tapi memang selama ini benda meterai tidak ada PPN nya deh kayaknya.

ini menurut pendapat saya, jawaban saya sendiri yang masih belum berdasar hukum yang kuat. tapi inilah jawaban saya:

1. Menurut saya Bea Meterai memang bukan merupakan Barang Kena Pajak karena Bea Meterai itu sendiri hanya merupakan bukti dari pelunasan pembayaran pajak atas dokumen. jadi ya Bea Meterai itu sendiri adalah Pajaknya. toh benda meterai juga kan tidak digunakan secara nyata untuk dijual gto.

2. bea meterai kan bagian dari dikumen2 atau surat berharga tuh, dnegan begitu kan secara otomatis (tidak langsung juga) bukan merupakan BKP sebagaimana UU PPN 1984.

mungkin itu jawaban sementaranya. masih dikonsutasikan dengan para ahli pajak yang lainnya.

Fasilitas PPN Terutang Dibebaskan dan Tidak Dipungut

Dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terdapat 2 fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, yakni PPN terutang dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut.

Apa perbedaannya?

Fasilitas PPN terutang dibebaskan yakni PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dibebaskan pemungutannya. Artinya, Konsumen tidak perlu membayar PPN yang terutang itu lagi dan bagi Penjualnya (PKP) tidak perlu memungut PPN terutangnya.

Fasilitas PPN terutang tidak dipungut hakikatnya juga sama, yakni PPN yang terutang dalam penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak perlu dipungut oleh penjual karena ada fasilitas tersebut. Dalam hal ini konsumen juga tidak lagi perlu membayar PPN yang terutang tersebut.

lalu apa perbedaannya?

Perbedaan secara Yuridis kedua fasilitas ini adalahi dari segi Pajak Masukannya.

untuk fasilitas PPN terutang dibebaskan, Pajak yang telah dibayarkan atas perolehan bahan untuk membuat BKP yang dijual (atau Pajak Masukannya) tidak bisa dikreditkan oleh si PKP penjual BKP tersebut.
sedangkan untuk fasilitas PPN terutang tidak dipungut, Pajak yang telah dibayar (Pajak Masukan untuk perolehan BKP yang dijual tersebut dapat dikreditkan.

so, perbedaan apa lagi dari kedua fasilitas tersebut, apa pengaruhnya untuk harga barang yang dijual??

beikut ini perbedaan secara MATEMATIS

PPN terutang dibebaskan
contoh :
Pak Ahmad adalah seorang penjual suatu Barang Kena Pajak, misalkan buku. anggap saja atas satu buku tersebut, Pak Ahmad memerlukan biaya sebesar Rp 50.000,- dari harga tersebut, Pak Ahmad mengharapkan laba 20% HPP. misalkan atas perolehan bahan2 tersebut Pak Ahmad telah membayar Pajak Masukannya sebesar Rp 5000,-

karena pajak masukan atas fasilitas PPN ini tidak bisa dikreditkan, maka biasanya Penjual atau pengusaha akan memasukkanya sebagai biaya dan menjadi bagian dari harga poko penjualan.

sehingga, perhitungannya adalah sebagai berikut.

biaya : Rp 50.000, PM : Rp 5000

harga poko penjualan :Rp 55.000
laba diharapkan (20%): Rp 11.000
PPN terutang : Rp 6600 (dibebaskan

harga yang dibayar oleh konsumen Rp 66.000

PPN terutang tidak dipungut
untuk fasilitas PPN terutang tidak dipungut, karena PM bisa dikreditkan, Pak Ahmad atau pengusaha biasanya tidak akan memasukkannya sebagai biaya ke harga poko penjualan karena juga tidak rugi jika tidak dimasukkan.

sehingga perhitungannya sebagai berikut.

harga pokok penjualan : Rp 50.000,-
laba (20%) : Rp 10.000
PPN terutang : RP 6.000 (tidak dipungut)

harga yang akan dibayar oleh konsumen : Rp 60.000

Dengan begitu, harga barang yang diberikan fasilitas PPN terutang tidak dipungut lebih murah jika dibanding dengan fasilitas PPN terutang dibebaskan.

Kamis, 25 Februari 2010

Transfer Pricing

korporasi multinasional telah berkembang dari beberapa dekade yang lalu. Mereka terus berkembang sampai saat ini dan mungkin sudah mencapai ratusan korporasi multinasional yang sudah ada di negeri ini.
kehadiran korporasi multinasional ini membawa banyak sekali perubahan dalam kehidupan di masyarakat, khususnya rakyat Indonesia. Dampak tersebut dapat merupakan dampak yang positif dan negatif.

dampak positif misalnya dengan adanya korporasi ini, maka investasi di suatu negara akan berkembang sehingga negara ini akan lebih maju lagi dalam perekonomian dan berbaga aspek lainnya.
dampak negatifnya juga sangat banyak, diantaranya lingkungan di negeri kita ini menjadi semakin tidak karuan , tanah dikeruk untuk kantor, tambang, dll. sungguh ironis.

korporasi multinasional ini merupakan perusahaan yang berskala internasional. mereka berada dalam satu grup dan terdiri atas berbagai perusahaan yang tersebar di berbagai negara.

perusahaan2 yang ada di berbagai negara ini merupakan divisi2 yang ada dalam grup perusahaan multinasional tersebut.

Kasus Jasa Penyewaan Tower ==>>bagaimana perlakuan PPh nya?

beberapa waktu lalu saya mendapatkan sebuah soal mengenai jasa penyewaan "tower".
kasusnya seperti ini :
ada sebuah perusahaan persewaan tower, sebut aja PT XYZ. kemudian ada perusahaan lain, sebut aja PT ABC, menyewa tower tersebut.

PT ABC menyewa tower kepada PT XYZ untuk kepentingan telekomunikasi mereka.

dari soal inilah timbul sebuah diskusi yang cukup lah, dan sampai sekarang saya masih belum tahu persis dan yakin seyakin-yakinnya mengenai PPh yang harus dikenakan atas jasa penyewaan tower ini oleh PT XYZ kepada PT ABC.

jawaban pertama diskusi ini adalah :

PT XYZ dikenakan PPh pasal 4 ayat (2) secara final sebesar 10% dari harga sewa.
alasannya, jasa tower ini dianggap sebagai jasa penyewaan tanah dan atau bangunan. tower dikategorikan sebagai bangunan sesuai dengan pengertian bangunan di UU PBB, yakni konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di tanah dan atau perairan.

alasan yang masuk akal untuk sebuah soal seperti itu. sangat masuk akal.

namun,saya berpikir kenapa jasa penyewaan tower ini tidak dikenakan PPh 23 aja --tidak final-- dan akhirnya dapat dikreditkan nantinya.

saya kemudian membuka KEP-227/PJ./2002 TATA CARA PEMOTONGAN DAN PEMBAYARAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN DARI PERSEWAAN TANAH DAN ATAU BANGUNAN.
dalam pasal 2 kita dapat mengetahui seperti ini :
"Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen,
kondominium, gedung perkantoran, gedung pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah
kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;"

kalo dilihat di KEP-227 ini pasal (2) khususnya, bukankah jenis bangunan yang disebutkan disana sudah jelas dan sepertinya sangat terbatas yang dikenai PPh final atau PPh pasal 4(2).

disana juga tidak ada opsi bangunan lainnya. sehingga dengan begitu yang dikenakan PPh 4(2) hanya yang disebutkan di atas.

inilah yang menjadi pertimbangan saya waktu itu.

menurut pendapat saya, jasa persewaan tower untuk kepentingan telekomunikasi ini seharusnya dimasukkan dalam PPh 23 dengan tarif 2% dan tidak final.

jasa ini saya rasa bisa dikategorikan dalam jasa lain sebagaimana di PMK 244/2008 dalam "jasa penyedia tempat dan atau waktu dalam media massa, media luar ruang, atau media lain untuk penyampaian informasi"

saya sempat berdiskusi dengan beberapa orang, dosen saya waktu tk.1 dan seorang fiskus di DJP Sukabumi serta sebuah group TAX di FACEBOOK.

intinya, pengenaan PPh terhadap jasa penyewaan tower ini (kalo ada kasusnya) mungkkin dapat dilihat substansi kasusnya terlebih dahulu, baru kita dapat menyimpulkan aspek perpajakan apa yang akan dikenakan terhadap jasa seperti ini Untuk jasa tower seperti contoh di atas bisa dimasukkan dalam pasal 4(2), pengenaannya final 10%.

jawabannya mungkin saya masih belum puas secara keseluruhan karena msih juga terdpaat perbedaan pendapat dalam hal ini.

maklum lah, masih di bangku sekolah tinggi. mungkin saat praktek nanti akan ditemui jawaban riil atas masalah ini.

sekian pembahasan mengenai jasa tower tersebut.